Percaya VS Berpikir

Mungkin masih banyak di antara kita, bahkan juga di kalangan mereka yang mengklaim dirinya seorang free-thinker, di Indonesia, yang masih berkata, “Aku percaya sama kekuatan magis” atau “Aku percaya hantu” dan sejenisnya. Dan masalahnya, hanya sedikit sekali dari mereka yang masih percaya tersebut pernah benar-benar mengalami sendiri fenomena yang mereka percayai tersebut. Kebanyakan hanya mendengar kisahnya dari teman, atau saudara, atau temannya temannya teman yang entah siapa mereka sumber berita aslinya. Saat ada sebuah pengalaman langsung berhasil dialami, biasanya tak pernah ada pertanyaan-pertanyaan lanjutan atas hal tersebut, melainkan hanya sekedar langsung dicerna dan berkata, “Ternyata hal ini benar persis seperti apa yang dikatakan oleh banyak orang”. Saat seseorang yang pernah mengalami langsung, dan tetap mengajukan keraguan dan berbagai pertanyaan, maka orang tersebut biasanya langsung dicap sebagai seorang rasionalis yang sudah keterlaluan.

Neo pagan dan mistikisme telah begitu dalam melakukan penetrasi dalam kehidupan masyarakat kita, terlebih lagi di Indonesia, juga dalam lingkar kaum yang mengaku dirinya revolusioner –sesuatu yang sesungguhnya menguburkan sikap skeptik yang sehat yang sangat esensial untuk dapat menyerang penguasa. Kita semua telah dilatih sejak kecil untuk percaya… untuk menerima sebuah ide tanpa perlu mempertanyakan sesuatu lebih jauh dan menginterpretasikan pengalaman harian kita berdasarkan sebuah ide yang diajukan. Sejak kita hanya diajarkan untuk percaya, bukan bagaimana caranya berpikir, maka saat kita menolak lagi kepercayaan yang sudah umum, kita akan mencari alternatifnya dalam sistem kepercayaan lain, bukannya mulai belajar untuk mencari pemahaman atas diri dan dunia kita sendiri berdasarkan kepercayaan-kepercayaan yang telah ada. Kita memeluknya, tanpa menginterpretasikannya. Saat penolakan ini termasuk sebuah kritik atas kehidupan masyarakat modern, seseorang biasanya langsung kembali ke dalam keyakinan mistik seperti kembali ke alam a la animisme apabila ia tidak malah memeluk agama-agama yang tersedia berderet-deret untuk dipilih seperti di supermarket.

Hanya sedikit dari kita yang tidak lagi tertarik pada sistem kepercayaan apapun. Orang-orang seperti inilah yang berusaha membentuk hidupnya sendiri dengan mulai belajar untuk berpikir sendiri berdasarkan apa yang ada dan dipelajari, dan pemikiran seperti ini tidak ada kaitannya dengan masalah kepercayaan dalam bentuk apapun juga.

Mungkin salah satu alasan mengapa banyak di antara mereka yang menganggap dirinya progresif masih berdiri jauh dari sikap skeptis –selain karena percaya adalah jauh lebih mudah– adalah karena para rasionalis sains telah mengklaim bahwa diri mereka skeptis saat mereka memapankan sistem kepercayaan yang otoritatif. Perhatikan bagaimana publikasi-publikasi, bahkan yang ditulis oleh kaum progresif sekalipun, sebesar apapun mereka menyerang sistem ini, mereka gagal dalam melepaskan diri dari konteks percaya pada sesuatu; entah itu percaya pada ideologi Marxis-Leninisme (yang mengaku saintifik), ataupun nasionalisme (yang mengaku rasional). Tetapi bahkan publikasi dari para atheispun tidak dapat meletakkan visi skeptis mereka pada sains yang telah mapan, mereka cenderung menyerang apapun yang mereka inginkan, dengan memberi kepercayaan pada sains modern. Telah begitu lama sains berhasil menyembunyikan fakta bagaimana mereka tidak berbeda dengan sistem kepercayaan. Memang, observasi dan eksperimentasi adalah langkah-langkah penting dalam menyusun sebuah kerangka pemikiran seseorang, sebagaimana juga yang telah dilakukan oleh sains. Tetapi masalahnya sains tidak mengaplikasikan metoda tersebut dengan bebas demi mengeksplorasi hidup otonom, melainkan menggunakannya ke dalam sistem kepercayaan.

Stephen Jay Gould misalnya, ia adalah seorang yang mengaku rasional, percaya hanya pada sains. Dalam salah satu bukunya, ia mencantumkan sebuah diskusi yang mendasari sains. Ia menyatakan dengan jelas bahwa dasar dari sains bukanlah –seperti yang telah diketahui secara umum– “metoda saintifik” (atau observasi empirik dan eksperimentasi), melainkan sebuah sistem kepercayaan bahwa ada sebuah hukum universal dimana alam memiliki aturannya dan cara beroperasinya sendiri. Ia juga menekankan bahwa metoda empirik hanya dapat menjadi sains saat diterapkan dalam konteks kepercayaan ini. Para rasionalis skeptis dengan gembira melecehkan kepercayaan pada hal-hal metafisik tetapi mereka menolak mengaplikasikannya pada sistem kepercayaan terhadap sains. Hal ini sama polanya dengan mereka, orang-orang yang mengaku dirinya muslim tetapi masih percaya pada sistem perbankan yang jelas-jelas riba. Kita sendiri, seharusnya mampu untuk keluar dari lingkaran ini semua.

Selama kita masih memfokuskan diri kita pada agama, dewa, hantu, termodinamik ataupun proyeksi astral, kita tak akan pernah mempertanyakan hal yang paling esensial, karena kita telah merasa mendapatkan jawaban, jawaban yang membuat kita mempercayai sesuatu, jawaban yang tak mudah mendapatkan jawaban baik dari hal-hal metafisik maupun saintifik, adalah satu-satunya jalan yang memulai hasrat individu untuk mendeterminasikan dirinya. Pola berpikir itu dapat bermula dari pertanyaan-pertanyaan tersulit yang membutuhkan jawaban yang juga sama sulitnya yang berkaitan langsung dengan hidup harian kita seperti: mengapa hidupku ini sangat jauh dengan hidup yang kudambakan, dan bagaimana caranya untuk mengubahnya? Tetapi saat seseorang dengan pertanyaan tersebut terlalu cepat melangkah demi menjawab pertanyaannya dengan sebuah jawaban yang didasari atas rasa percaya, orang tersebut telah kehilangan hidupnya lagi dan kembali memeluk perbudakan.

Skeptikisme adalah sebuah alat yang esensial bagi mereka yang ingin melepaskan diri dari perbudakan psikis. Dalam usaha untuk belajar mengeksplorasi –yaitu untuk mulai membangun dirinya sendiri– seseorang harus menolak untuk percaya. Tentu saja, ini adalah sebuah perjuangan yang berat dan tak jarang sangat menyakitkan, ataupun juga selalu dalam sebuah kegelisahan yang tak kunjung berhenti; tetapi inilah petualangan dalam mengeksplorasi dunia bagi diri seseorang, demi membangun hidupnya, demi hasrat terdalamnya sendiri, aksi yang akan mampu untuk menghancurkan seluruh kekuasaan dan kekangan sosial. Maka apabila engkau bersikukuh mengajukan sistem kepercayaanmu pada kami, tak perlu heran apabila apa yang engkau dapatkan hanyalah keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan lanjutan, ataupun bahkan ejekan; karena saat sebagian dirimu menyatakan bahwa dirimu masih membutuhkan sesuatu untuk dipercayai, berarti dirimu masih membutuhkan seorang majikan untuk menetukan hidupmu.

“Hidup, adalah saat engkau memikirkan rencana-rencana bagi dirimu sendiri.”